Tahun 2053 Kiamat?
ARTIKEL INI DIAMBIL DARI http://www.mutoha.blogspot.com
Artikel
berikut merupakan jawaban dari Ma’rufin Sudibyo (anggota DP Jogja Astro
Club) atas pertanyaan salah satu anggota milis JAC mengenai selebaran “Kehancuran Bumi pada 2053”
yang dia terima dalam format Powerpoint beberapa bulan lalu yang
menceriterakan tentang kemungkinan kiamat akibat tumbukan bumi dengan
planet yang disebut sebagai “Nibiru“. Apakah berita ini benar?
Planet X pertama kali
dikemukakan Percival Lowell tahun 1902 sebagai planet hipotetik yang
gravitasinya sanggup menyimpangkan (sedikit) pergerakan Neptunus dan
Uranus dari lintasan idealnya. Planet X merupakan kelanjutan hipotesis
John Couch Adams dan Urbain LeVerrier setengah abad sebelumnya, yang
bekerja sendiri2 namun sama2 menyimpulkan adanya planet tak dikenal yang
mengganggu orbit Uranus, yang berujung mengagumkan dengan penemuan
Neptunus oleh Galle dan d’Arrest lewat mata tajam teleskop observatorium
Berlin pada tahun 1846.
Terinspirasi
sukses ini, setelah menganalisis penyimpangan gerak Merkurius serta
Uranus dan Neptunus, Le Verrier meramalkan sedikitnya ada 2 planet lain
yang masih “bersembunyi”, menunggu ditemukan. Yang pertama disebut
planet transneptunik,
yakni planet cukup massif yang letaknya lebih jauh dibanding Neptunus.
Yang kedua adalah Vulkan, planet massif yang lebih dekat ke Matahari
dibanding Merkurius.
Untuk planet trans
neptunik, segera muncul ratusan proposal yang masing2 mencoba
memprediksi lokasi planet tak dikenal itu. Dua yang populer diusulkan
Lowell dan Pickering. Lowell dengan “Planet X” nya, sementara Pickering
dengan tujuh planet hipotetiktrans-Neptuniknya, yang masing2 diberi nama
planet O, P, Q, R, S, T dan U. Menariknya sifat2 Planet O hampir mirip
dengan Planet X-nya Lowell. Cerita lengkap soal ini bisa anda baca di
situs The Nine Planets pada artikel “Hypotethical Planets”. Singkatnya,
dari saat Clyde W Tombaugh menemukan Pluto (1930) sampai Jewit dkk.
menemukan asteroid transneptunik 1992 QB 1 (1992) tak ada satupun benda
langit yang dapat dijadikan kandidat Planet X.
Pluto sendiri cukup mengecewakan,
mengingat massanya “hanya” 1/400 massa Bumi, jauh dari cukup untuk
menjadi Planet X / Planet O yang massanya diestimasikan sebesar 2 – 6
massa Bumi. Justru di kawasan yang semula diduga menjadi habitat Planet X
ini ternyata menjadi tempat bercokolnya 1 – 10 milyar asteroid
transneptunik yang membentuk cakram raksasa bernama Sabuk Kuiper, dengan
dinamika dikontrol oleh kombinasi gravitasi Jupiter – Saturnus – Uranus
– Neptunus. Asteroid-asteroid ini baru ditemukan sejak 1992 silam meski
keberadannya sudah diramalkan Gerald P. Kuiper setengah abad
sebelumnya. Lantas bagaimana dengan penyimpangan orbit Uranus dan
Neptunus ?
Hal ini diuji secara tak langsung oleh
Voyager 2 ketika mengukur ulang massa planet Jupiter, Saturnus, Uranus
dan Neptunus dengan akurasi sangat tinggi dalam Grand Tour 1979 – 1989.
Ketika hasil pengukuran Voyager ini dimasukkan dalam hitungan Le
Verrier, ternyata penyimpangan itu menghilang! Disini jelas bahwa ide
akan Planet X dibangun dari deviasi standar statistika hasil pengukuran
astronomi abad ke-19 yang tentu saja tingkat ketelitiannya tidak
setinggi pengukuran saat ini. Mengenai Vulkan, problem itu sudah
terjawab di tahun1916 ketika Einstein mengapungkan teori relativitas
umum-nya yang menggemparkan. Menurut Einstein, salah satu konsekuensi
dari membengkoknya ruang waktu disekitar benda massif seperti Matahari
adalah terjadinya pergeseran permanen (presesi) terhadap titik
perihelion Merkurius, yang mencapai 43 detik busur per abad. Presesi
perihelion inilah yang teramati oleh Le Verrier, jauh hari sebelum
Einstein lahir.
Nibiru,
menurut Landsberger dan K. Wilson merupakan titik tetap di langit atau
bintang kutub. Zecharia Stichtin dan Burak Eldem, mengklaim Nibiru
adalah catatan kuno Sumeria mengenai planet tak dikenal. Pada http://xfacts.com/Nibiru
disebutkan sebagai planet tempat berdiamnya Annunaki (dewanya orang
Sumeria) yang mengorbit Matahari kita dalam 3.600 tahun. Namun klaim
Stichtin tidak didukung fakta ilmiah astronomi dan arkeologi. Apalagi
jika kemudian Nibiru dikait-kaitkan dengan Planet X, yang sudah kita
ketahui sejauh ini memang tidak ada.
Lepas
dari soal ada tidaknya Nibiru, ada beberapa hal dalam selebaran
tersebut yang ternyata tidak menyebutkan siapa penulisnya, hanya
tertulis dari aliflamra1711@gmail.com namun menarik untuk kita analisis.
Pertama,
dikatakan planet Nibiru memiliki massa 100 kali massa Bumi kita, dengan
diameter – merujuk pada grafis – menyamai Saturnus atau sebesar 120.000
km (sebagai pembanding, diameter Bumi kita “hanya” 12.756 km alias
seper sepuluhnya saja). Bila kita anggap Nibiru berbentuk bulat, kita
bisa memperkirakan densitasnya yang ternyata sebesar 0,66 gram/cc, alias
lebih ringandari air (!). Adakah benda langit yang densitasnya mirip2
Nibiru ? Ada, malah banyak ! Asteroid-asteroid transneptunik penghuni
Sabuk Kuiper dan kometisimal2 ‘penduduk’ Awan Komet Oort juga memiliki
densitas kurang dari 1 gram/cc. Analisis spektroskopi menunjukkan hal
ini disebabkan oleh komposisi penyusun benda2 langit itu didominasi oleh
materi-materi ringan seperti senyawa karbon dan debu-debu silikat
berselubung es, dengan permukaan gelap dan memadat akibat terjangan
radiasi sinar kosmis.
Anggaplah
Nibiru beredar mengelilingi Matahari kita dalam 3.600 tahun sekali.
Dengan Hukum Kepler 3, kita bisa mengetahui jarak (rata2) orbitnya
terhadap Matahari adalah 235 AU alias 35,25 milyar km. Orbit ini sudah
berada di luar cakram Sabuk Kuiper (yang radius maksimalnya ‘hanya’ 7
milyar km dari Matahari) dan kemungkinan besar sudah masuk ke dalam
kawasanhunian Awan Komet Oort bagian dalam. Berdasarkan jarak orbit dan
densitasnya, kita bisa saja mengatakan Nibiru adalah bagian dari Awan
Komet Oort.
Dengan permukaan yang
menggelap dan memadat akibat tekanan radiasi sinar kosmis, bisa saja
kita katakan Nibiru sulit dideteksi. Namun harus diingat, diameter
sebuah benda langit berhubungan erat dengan magnitude-nya dan nanti akan
kita lihat betapa klaim “Nibiru yang redup” ini tidak memiliki basis
argumen. Yang melemahkan adalah diameternya. Dengan jarak rata2 235 – 1 =
234 AU atau 35,1 milyar km dari Bumi kita, benda langit yang
diameternya 120.000 km itu seharusnya nampak sebagai titik cahaya dengan
diameter 0,0034 mili radian atau 0,7 detik busur. Mata manusia (tanpa
alat optik) memang takkan bisa melihat titik cahaya ini, mengingat batas
resolusinya adalah 0,15 mili radian atau 31 detik busur. Namun dengan
teleskop sederhana pun sebenarnya titik cahaya ini sudah nampak. Jika
kita murni bertumpu pada kriteria Rayleigh, maka teleskop dengan
lensa/cermin berdiameter minimal 30 cm yang bekerja pada spektrum
panjang gelombang 7.000 Angstrom sudah cukup mudah mendeteksi titik
cahaya ini, apalagi teleskop2 raksasa yang ada di Hawaii, Gunung Wilson
maupun HST.
Sebagai pembanding, Pluto saja (diameter 2.274 km), yang dari Bumi
nampak sebagai titik cahaya berdiameter 0,0004 miliradian alias 1/10
diameter titik cahaya Nibiru, sudah muncul dalam potret2 yang dibuat
Lowell dari observatorium pribadinya di Flagstaff pada 1915, meski baru
bisa diidentifikasi Tombaugh 12 tahun kemudian. Pluto nampak sebagai
titik cahaya dengan magnitude +15. Logikanya, jika teknologi 1915 – 1930
saja sudah mampu membidik Pluto, tentunya untuk melacak Nibiru bukan
persoalan sulit, kalo planet ini memang ada. Apalagi bisa diestimasikan
Nibiru lebih cemerlang (magnitude-nya lebih kecil) dari Pluto karena
diameternya jauh lebih besar.
Kedua,
dikatakan gerakan planet Nibiru menuju ke tata surya bagian dalam. Jika
dilihat grafis perbandingan orbit planet2 dan planet X, terkesan orbit
Planet X/Nibiru berbentuk sangat lonjong alias memiliki eksentrisitas
besar. Kita tahu bahwa orbit semacam ini adalah ciri khas orbit komet,
dan kita juga sudah tahu dari jarak orbitnya Nibiru berada di region
Awan Komet Oort, sumber komet2 berperiode panjang (> 200 tahun),
komet parabolik dan hiperbolik. Komet2 periodik dari Awan Komet Oort
memiliki cirikhas : eksentrisitas rata2 0,7 dan inklinasi 35 derajat.
Karena eksentrisitas (e) orbit benda langit bergantung pada jarak
Perihelion (P) dan Aphelion (A) nya lewat formula : (A – P)/(A + P) = e,
untuk e = 0,7 kita dapatkan rasio A/P = 5,7. Karena jarak rata2 orbit
planet (R) berhubungan dengan Aphelion dan Perihelionnya dalam formula –
secara kasar – : 2R = A+ P, untuk e = 0,7 tadi kita dapatkan P = 70,1
AU.Ini masih sangat jauh dari Bumi kita (yang jaraknya 1 AU dari
Matahari), bahkan masih lebih jauh dibanding Pluto, sehingga peluang
Bumi dan Nibiru untuk berbenturan adalah nol. Bisa saja kita anggap
Perihelion Nibiru Bisa saja kita anggap Perihelion Nibiru
Ketiga, pada halaman dari artikel itu diberi judul “IRAS” dengan potongan artikel koran berjudul “Mystery Heavenly Body Found by Orbiting Infrared Telescope“.
Namun penjelasan di halaman tersebut sama sekali tidak menyinggung apa
itu IRAS. Paralel dengan isu Nibiru, di dunia astronomi pernah muncul
hipotesis Nemesis,
yakni bintang pasangan Matahari yang sangat redup (kemungkinan berupa
cebol putih atau cebol coklat) yang bergerak mengelilingi Matahari dalam
orbit elliptikal dengan Perihelion 20.000 AU, Aphelion 90.000 AU dan
periode orbit 30juta tahun. Sehingga Matahari-Nemesis adalah sistem
bintang kembar dengan pasangannya sangat redup hingga tak terlihat. Ini
mengingatkan kita pada sistem sejenis di Cygnus X-1, dimana pasangannya
juga tak nampak (dan kini diidentifikasi sebagai lubang hitam).
Hipotesis Nemesis dibangun oleh geolog Daniel P. Whitmire dan John J.
Matesse (1985) sebagai solusi bagi terjadinya peristiwa pemusnahan
massal akibat hantaman komet ke Bumi yang selalu berulang setiap 30 juta
tahun seperti yang direkam di lapisan2 sedimen.
Ini sejalan dengan
gagasan Rampino, Stothers (1984) dan sang legenda : Carl Sagan (1985)
yang juga berpendapat serupa lewat Hipotesis Shiva-nya, meski perulangan
itu dikatakan terjadi tiap 35 juta tahun. Dengan gagasannya Whitmire
dan Matessse membayangkan tiap 30 juta tahun sekali Nemesis melintas di
dekat Awan Komet Oort dan gravitasinya membuat awan kometini sangat
bergejolak hingga melepaskan ribuan kometisimal yang selanjutnya melesat
ke tata surya bagian dalam akibat kombinasi gravitasi Nemesis dan
Jupiter. Beberapa dari komet itu ‘mampir’ ke Bumi dan menimbulkan
benturan hebat yang memusnahkan kehidupan secara massal. Sayangnya,
ketika satelit IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) diluncurkan awal
1980-an dan memetakan jagat raya pada spektrum sinar inframerah, Nemesis
ternyata tidak pernah ditemukan.
Meski Nemesis dianggap
sebagai bintang yang sangat redup, logikanya, karena masih membakar
Hidrogen di terasnya, ia tetap memancarkan sinar inframerah yang kuat
sebagaimana bintang2 cebol lainnya. Justru IRAS menemukan komet
IRAS-Iraki-Alcox, komet redup yang melintas sejauh 5 juta km saja dari
Bumi, komet terdekat selama ini. IRAS juga menemukan 3200 Phaethon,
benda langit mirip asteroid namun menyemprotkan partikel2 dari
permukaannya dengan bentuk mirip ekor komet dan dipastikan merupakan
sumber dari hujan meteor (shower) Geminids yang terjadi tiap awal
Desember. So, IRAS juga tidak pernah menyimpulkan telah ditemukan benda
langit dengan ciri2 seperti Nibiru.
Nibiru dan Kiamat
Dari
uraian tadi bisa disimpulkan, Nibiru tidak ada. Kalaupun planet itu
ada, dengan sifat2 fisik dan orbitnya, peluangnya untuk masuk ke tata
surya bagian dalam ataupun berbenturan dengan Bumi adalah nol. Meski
begitu, saya merasa pembuat Selebaran Kiamatini
di sisi lain sedang mengingatkan kita betapa terbukanya potensi
benturan Bumi dengan benda2 langit dari Awan Komet Oort maupun Sabuk
Kuiper (baca : komet), meski Bumi sudah ditamengi Jupiter dan Bulan.
Merujuk betapa banyaknya jejak kawah tumbukan di wajah Bulan, Barbara
Cohen dan David Kring (2002) menyimpulkan Bumi pernah dihajar jutaan
bolide sekitar 2,8 milyar tahun silampada peristiwa Late Heavy
Bombardment. Hajaran itu membentuk sedikitnya 22.000 kawah tumbukan
berdiameter lebih dari 20 km, dengan 40 kawah diantaranya benar2
berukuran raksasa dan layak disebut basin, mengingat diameternya lebih
dari 1.000 km. Kini tak satupun darikawah2 itu yang tersisa, mengingat
aktifnya dinamika permukaan Bumi oleh proses erosi dan gerakan lempeng2
tektonik.
Dua kawah tertua yang
ada, masing2 Vredefort (Afrika Selatan, diameter 300 km) dan Sudbury
(Canada, diameter 250 km) berasal dari masa yang lebih muda (2 milyar
tahun silam). Andai hipotesis Shiva benar, jika kita menghitung balik
dari dua peristiwa tumbukan benda langit terdahsyat terakhir, yakni
peristiwa 65 juta tahun silam (musnahnya Dinosaurus, ditandai dengan
terbentuknya Kawah raksasa Chicxulub) dan 35 juta tahun silam
(terbentuknya Kawah Popigai di Russia, diameter 100 km, dan Kawah
Chesapeake Bay di New YorkCity, diameter 95 km), nampaknya siklus
bencana 30-35 juta tahun akan terulang lagi di masa kini, periode dimana
manusia hidup. Berkait tumbukan ini, menarik sekali bahwa di region
Asia Tenggara, sebagian Australia, Taiwan, China dan P. Madagaskar,
bahkan ada juga yang mengatakan hinggake Eropa Tengah dan Texas, telah
ditemukan tektit, yakni butir2 batuan beku khas produk tumbukan benda
langit. Di Indonesia tektit ini bisa ditemukan di Jawa (terutama di
Sangiran), Belitung, Kalimantan dan Ambon. Tektit yang disebut tektit
austral-asia ini terjepit di sedimen berumur pleistosen tengah atau dari
masa 0,77 juta tahun silam.
Di dalam tektit ini
ditemukan pula mineral coesite, sejenis kuarsa yang termetamorfosis oleh
tekanan luar biasa besar (200ribu ton per meter persegi !), yang secara
alami hanya diproduksi oleh tumbukan benda langit. Jelas bahwa sebaran
tektit austral-asia berasal dari tumbukan benda langit pada 0,77 juta
tahun silam. Melihat betapa luas sebarannya, Edward Chao – yang bersama
empat serangkai : Eugene Shoemaker (alm), Nicholas M. Short, B.M. French
dan W von Engelhardt menjadi pionir penyelidikan dan pembuktian
tumbukan benda langit di dekade 1960an – menyebut tektit itu bisa
disamakan dengan sebaran global lempung hitam tipis yang terjepit di
antara sedimen zaman Kapur danTersier. Lempung hitam ini jadi demikian
populer karena amat kaya dengan iridium dan jadi salah satu penanda
terjadinya tumbukan dahsyat 65 juta tahun silam, yang membentuk Kawah
raksasa Chicxulub sembari mengiamatkan 75 % populasi makhluk hidup saat
itu. Maka skala tumbukan yang membentuk tektit austral-asiapun menyamai
dahsyatnya pembentukan Kawah Chicxulub.
Hampir semua paper yang
mengupas genesis tektitaustral-asia menyebut kawasan Asia Tenggara
merupakan titik permukaan Bumi yang dihantam bolide pada 0,77 juta tahun
silam itu. Menariknya, survey di Laut Cina Selatan selama 1 dekade
(1989 – 1999) menggunakan satelit GEOSAT dan SEASAT berhasil mendeteksi
sebuah struktur sirkular raksasa berdiameter 100 km di 13° 36′ LU 110°
30′ BT. Meski belum diteliti lebih lanjut (karena untuk itu perlu dibor
dan dicek tipe batuannya) diduga kuat inilah kawah raksasa itu. Satu hal
yang harus diingat, meski (anggaplah) tumbukan versi hipotesis Shiva
itu sudah terjadi 0,77 juta tahun silam, dalam sejarahnya jarang sekali
dijumpai tumbukan benda langit (terutama yang membentuk kawah2 raksasa)
dari bolide tunggal, kebanyakan dihasilkan oleh beragam bolide yang
datang secara berentetan selama 1-2 juta tahun (rentang waktu yang
tergolong pendek dalam skala waktu geologi). Pola khas ini nampak dari
terbentuknya kawah Chicxulub yang segera diikuti dengan pembentukan 7
buah kawah tumbukan lain, masing2 Eagle Butte (Canada), Gusev (Russia),
Belize (Meksiko), Alvaro Obregon (Meksiko), Haiti (Laut Karibia),
Silverpit (lepas pantai Inggris) dan sau kawah tak bernama di dasar
Samudera Pasifik.
Begitu pula
terbentuknya Popigai, yang langsung disusul dengan munculnya kawah
Chesapeake Bay (AS) dan struktur Fohn di celah Timor. Dan kawah di Laut
Cina Selatan ini ? Memang sebelumnya telah terbentuk kawah Zhamanshin
(Kazakhstan, diameter 14 km, 0,9 juta tahun silam), Bosumtwi (Ghana,
diameter 10,5 km, 1,1 juta tahun silam), Eltanin (Laut Bellingshausen,
diameter 40 km, 2,15 juta tahun silam) dan Kara-Kul (Tajikistan,
diameter 50 km, 3 juta tahun silam). Namun kita tidak pernah tahu apakah
kawah di Laut Cina Selatan tadi merupakan “penutup” rangkaian tumbukan
itu atau hanya bagian dari sejarah mencekam yang sedang bergulir sampai
detik ini. Ketiadaan bukti belum merupakan bukti dari ketiadaan Planet X
ini. Pencarian terhadap Planet X tidak begitu saja berhenti di sini.
Siapa tahu suatu saat memang betul2 ada..??? Wallahu a’lam bissawab…
Sumber: